Teluk Bintuni, IndikatorNews.co.id – Sejumlah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Teluk Bintuni (Unimutu) bersama Forum Pemuda Asli Tujuh Suku Peduli Otsus (FORAPELO) Teluk Bintuni turun ke jalan melakukan aksi penggalangan dana bagi warga terdampak konflik bersenjata di Distrik Moskona Utara dan Moskona Utara Jauh, Kabupaten Teluk Bintuni. Aksi kemanusiaan tersebut berlangsung di dua titik, yakni area lampu merah Pasar Sentral dan Kampung Lama, Distrik Bintuni, Rabu (22/10/2025).
Para mahasiswa dan pemuda tampak membawa kotak sumbangan serta membentangkan spanduk dan karton bertuliskan ajakan solidaritas untuk para pengungsi.
Aksi ini mendapat respons positif dari masyarakat yang melintas di sekitar lokasi.
Konflik bersenjata antara aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) di Kampung Moyeba, Distrik Moskona Utara, sejak Sabtu (11/10/2025), menyebabkan satu anggota TNI tewas tertembak dan ratusan warga sipil mengungsi ke hutan untuk menghindari dampak baku tembak.
Menurut data lapangan, sedikitnya 194 warga dari sembilan kampung di dua distrik tersebut terpaksa meninggalkan rumah mereka. Para pengungsi kini hidup dalam kondisi memprihatinkan tanpa akses terhadap makanan, air bersih, dan layanan kesehatan.
Salah satu mahasiswa Unimutu, Daniel Ogoney, mengatakan aksi solidaritas ini dilakukan karena belum adanya kejelasan mengenai kondisi para pengungsi.
“Sampai sekarang kami belum tahu apakah para pengungsi sudah mendapat bantuan atau belum. Karena itu, kami turun ke jalan untuk membantu semampu kami,” ujarnya.
Sementara itu, tokoh pemuda Moskona, Seprianus Yerkohok, melalui pengeras suara menyerukan kepada masyarakat dan pemerintah agar segera membantu para korban.
“Kami berharap Bupati dan Ketua DPRK Teluk Bintuni segera menarik para pengungsi ke kota dan memberikan perhatian kepada mereka. Mereka butuh bantuan segera,” tegasnya.
Koordinator aksi penggalangan dana, Ruben Frasa, menyampaikan bahwa kegiatan sosial ini sudah dilakukan selama dua hari dan melibatkan sekitar 60 orang relawan dari berbagai organisasi dan komunitas peduli.
“Kami sudah menyampaikan ke pihak Polres Teluk Bintuni terkait aksi ini. Yang terlibat adalah teman-teman dari Unimutu, Forapelo, Moskona Bersatu, dan beberapa masyarakat yang punya kepedulian,” ujar Ruben.
Ruben menambahkan, pemerintah daerah melalui Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, dan Kesbangpol masih berkoordinasi dengan Bupati Teluk Bintuni untuk membentuk Tim Penyelamatan Pengungsi. “Kami berharap agar tim ini segera dibentuk,” ujarnya.
Ia juga menjelaskan bahwa hingga kini dua distrik terdampak sudah kosong dari aktivitas warga.
“Di dua distrik itu tidak ada lagi masyarakat, hanya hewan ternak yang tersisa. Mereka sulit dihubungi karena masih bersembunyi di hutan,” jelas Ruben.
Sejumlah sumber lokal menyebutkan beberapa rumah, sekolah, dan gereja mengalami kerusakan akibat operasi militer yang dilakukan pasca bentrokan. Warga enggan kembali ke kampung karena takut terhadap intimidasi, penangkapan sewenang-wenang, dan kekerasan dari aparat keamanan.
Koalisi masyarakat sipil di Teluk Bintuni mendesak pemerintah untuk segera menghentikan operasi militer di wilayah sipil, menarik pasukan dari pemukiman warga, serta membuka akses bagi lembaga kemanusiaan dan media independen agar dapat meninjau langsung kondisi para pengungsi.
Selain itu, masyarakat adat juga menuntut jaminan keselamatan dan perlindungan hukum bagi warga terdampak serta penghentian tindakan penyisiran dan penangkapan yang dinilai bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia.
Peristiwa di Teluk Bintuni ini kembali memperlihatkan kerentanan warga sipil dalam konflik bersenjata di Tanah Papua. Pemerintah diharapkan segera meninjau ulang pendekatan keamanan dan menggantinya dengan pendekatan dialog, kemanusiaan, dan keadilan sosial untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap negara. (Wn).


Comment